Keranjang Anda kosong!
EMPAT RESEP MEMAHAMI AIB DIRI SENDIRI
apabila Allah menghendaki hambanya menjadi baik, maka Allah akan memperlihatkan kepada hamba tersebut tentang aib-aib dirinya. Karena itulah barangsiapa yang tajam mata hatinya, maka aib dirinya itu tidaklah samar baginya. Jika mampu mengetahui aibnya, maka ada kemungkinan untuk mengobatinya. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui aib sendiri. Ia dapat melihat kotoran yang ada pada mata saudaranya, namun tidak dapat melihat batang kurma yang ada di depan matanya sendiri. Oleh karena itu, barangsiapa yang ingin mengetahui aib sendiri, maka baginya ada empat cara:
- Hendaknya ia duduk di depan seorang syaikh (guru) yang mampu melihat aib-aib rohani, dan mampu memandang penyakit-penyakit rohani yang samar. Serta menyerahkan dirinya pada syaikh tersebut, dan mengikuti petunjuknya dalam bermujahadah. Inilah sikap seorang murid terhadap syaikhnya, dan sikap anak didik terhadap ustadznya. Maka ustadz dan syaikhnya itu akan memberitahunya tentang aib-aibnya (penyakit-penyakit rohaninya) serta menunjukkan pula cara mengobatinya. Guru yang seperti inilah yang pada masa sekarang keberadaannya sangatlah langka.
- Hendaknya ia mencari teman dekat yang sangat jujur, yang tajam mata hatinya, dan yang kuat agamanya. Kemudian teman itu diangkat sebagai pengawas atas dirinya, agar selalu memperhatikan tindak-tanduk dan perbuatannya. Maka apapun yang teman dekat itu merasa tidak senang dari; akhlak, perbuatan, cacat batin, dan lahirnya, maka teman dekat itu harus memperingatkannya. Perilaku semacam inilah yang dilakukan oleh orang-orang yang cerdas dan para pembesar agama.
Sayyidina Umar bin Khatthab ra. berkata: “Semoga Allah mengasihi orang yang mau menunjukkan aib-aibku.” Beliau pernah menanyakan aib-aib dirinya kepada Salman al-Farisi, tatkala Salman datang kepadanya. Beliau berkata: “Berita apakah yang telah sampai kepadamu tentang diriku, yang tidak kamu senangi?” Salman meminta maaf agar beliau tidak menanyakan hal itu, akan tetapi Sayyidina Umar tetap mendesaknya. Kemudian Salman berkata: “Telah sampai kabar kepadaku, bahwasanya engkau telah mengumpulkan dua lauk-pauk di atas satu meja makan. Dan engkau memiliki dua pakaian, satu pakaian untuk waktu siang dan satu pakaian lagi untuk waktu malam.” Sayyidina Umar berkata: “Adakah berita lain selain hal itu yang telah sampai kepadamu?” Salman menjawab: “Tidak.” Kemudian Umar berkata: “Dua hal itu sudah cukuplah bagiku.”
Beliau juga pernah bertanya kepada Hudzaifah seraya berkata kepadanya: “Kamu adalah orang yang mengetahui rahasia Rasulullah mengenai orang-orang munafik, apakah kamu mengetahui pada diriku suatu tanda-tanda kemunafikan?” Sayyidina Umar yang begitu agung derajatnya dan begitu tinggi kedudukannya, akan tetapi sampai seperti itu kecurigaan beliau kepada dirinya sendiri, semoga Allah meridlainya.
Setiap orang yang sempurna akalnya dan tinggi kedudukannya, niscaya rasa bangga pada diri sendiri akan lebih sedikit, dan justru lebih besar rasa kecurigaan pada diri sendiri. Hanya saja hal yang demikian ini sangatlah langka untuk dijumpai. Sedikit sekali teman-teman dekat yang mau menghindari sifat pura-pura, yang mau memberitahukan aib, atau mau meninggalkan kedengkian, sehingga ia tidak menambah-nambah, kecuali pada kadar yang diperlukan. Maka dari teman-temanmu itu tidaklah sepi dari orang-orang yang hasud, orang yang mempunyai kepentingan pribadi, sehingga memandang sesuatu yang bukan aib ia katakan sebagai aib, atau tidak sepi dari orang yang bermuka-muka, yang selalu menyembunyikan aib-aibmu dari dirimu.
Oleh karena itulah Dawud ath-Tha’i lebih suka mengasingkan diri dari masyarakat. Pernah ditanyakan kepadanya: “Mengapa engkau tidak bergaul dengan masyarakat?” Dawud ath-Tha’i menjawab: “Apa yang dapat aku lakukan dengan suatu golongan yang suka menyembunyikan aib-aibku?” Maka berarti keinginan orang-orang yang beragama itu adalah ingin menyadari tentang aib mereka dengan peringatan orang lain. Dan betul-betul di kalangan kita, hal ini telah berubah sampai kepada; bahwa orang yang paling kita benci adalah orang yang suka menasehati kita, dan orang yang menunjukkan aib-aib kita. Dan hampir-hampir hal ini adalah memperjelas kelemahan iman kita. Karena sesungguhnya akhlak yang buruk itu laksana ular dan kalajengking yang menyengat. Apabila ada orang yang memperingatkan kita bahwa di bawah pakaian kita ada kalajengking, tentu kita terima perkataan itu sebagai anugerah, dan kita akan merasa gembira serta berusaha untuk menghilangkan kalajengking itu, menjauhkan dan membunuhnya. Sesungguhnya sengatan kalajengking pada badan kita, rasa pedihnya akan terasa sampai satu atau dua hari saja. Akan tetapi akhlak buruk yang menyerang lubuk hati, dikhawatirkan rasa sakitnya akan ber-kepanjangan terasa sampai mati untuk selama-lamanya dan atau sampai ribuan tahun lamanya.
Sedangkan kita tidak suka dengan orang yang mau memberitahu kita tentang akhlak yang buruk itu. Kita tidak menyibukkan diri untuk menghilangkannya, bahkan kita menyibukkan diri untuk membantah orang yang telah menasehati kita, dengan kata-kata seperti yang telah mereka katakan kepada kita. Kita berkata kepadanya: “Kamu sendiri juga berbuat ini dan itu.” Kita hanya sibuk memusuhi orang yang telah menasehati kita, daripada mengambil manfaat dari nasehat-nasehatnya. Hal yang semacam ini, serupa dengan kerasnya hati yang ditimbulkan oleh banyaknya dosa. Dan sumber semua itu adalah lemahnya iman.
Karenanya, marilah kita memohon kepada Allah , semoga Allah memberi petunjuk dan membimbing kita, memperlihatkan kepada kita akan segala aib-aib kita, dianugerahi kesibukan untuk mengobatinya, dan semoga kita diberi petunjuk untuk berterima-kasih kepada orang yang mau menunjukkan kepada kita akan keburukan-keburukan kita, dengan anugerah dan karunia Allah.
- Hendaknya ia mau mengambil suatu pengertian untuk mengetahui aib diri sendiri dari apa yang diucapkan oleh musuh-musuhnya. Karena musuh yang membencinya itu, kebenciannya akan mengungkap keburukan-keburukan lawan. Karena mengambil manfaat dari musuh yang membencinya dan selalu menyebut-nyebut aibnya itu adalah lebih banyak daripada mengambil manfaat dari teman dekat yang suka berpura-pura, yang selalu memuji-muji dan menyanjungnya serta merahasiakan aib dari dirinya.
Hanya saja sudah menjadi watak manusia untuk mendustakan semua perkataan musuhnya, dan hanya menganggapnya sebagai suatu bentuk kedengkian. Akan tetapi orang yang memiliki ketajaman mata hati, ia tidak akan mengacuhkan untuk mengambil manfaat dari perkataan musuh- musuhnya. Karena kejelekan-kejelekannya pastilah akan terbongkar dari lidah-lidah musuh itu.
- Hendaknya ia bergaul dengan masyarakat, maka setiap sesuatu yang dianggap oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tercela, hendaklah ia mencari sifat tersebut pada dirinya sendiri, dan menisbatkan sifat tersebut pada dirinya. Karena orang mukmin itu menjadi cermin bagi orang mukmin yang lain. la bisa melihat aib orang lain sebagai aibnya sendiri. Dan ia bisa mengetahui bahwasannya tabiat manusia itu memiliki kesamaan, yakni senang menuruti hawa nafsu.
Sifat yang dimiliki oleh seseorang itu senantiasa berasal dari teman yang lain, dari orang yang lebih besar atau orang yang lebih kecil darinya. Maka hendaklah ia mencari sifat tercela tersebut pada dirinya, dan kemudian membersihkan dirinya dari sifat itu. Cara yang demikian ini sudah cukup bagimu sebagai bentuk pendidikan. Karena apabila setiap manusia mau meninggalkan segala apa yang dibencinya dari sifat tercela orang lain, niscaya mereka tidak akan membutuhkan seorang pendidik. Pernah ditanyakan kepada Nabi Isa : “Siapakah orang yang telah mendidikmu?” Nabi Isa menjawab: “Tidak ada seorangpun yang mendidikku. Saya menganggap kedunguan orang yang dungu sebagai suatu aib, maka saya pun menjauhinya.”
Inilah upaya bagi orang yang tidak mempunyai guru yang arif, yang cerdik, yang mampu melihat aib (penyakit rohani), yang penuh kasih sayang, yang mau menasehati dalam hal agama, yang telah selesai dari mendidik diri sendiri, untuk sibuk mendidik hamba-hamba Allah dengan nasehat-nasehat untuk mereka. Barangsiapa yang bisa menemukan orang semacam itu, maka sungguh ia telah menemukan seorang dokter, hendaklah ia selalu mengikutinya, karena orang semacam itulah yang mampu menyembuhkannya dari penyakit, serta menyelamatkannya dari kebinasaan yang ada di hadapannya.
Dapatkan keterangan lengkapnya hanya di buku: โ11 Langkah Resep al-Ghazali.โ
Pemesanan klik link berikut: http://linktr.ee/pustakaalmuhibbin
Tinggalkan Balasan