TIGA TINGKATAN IKHLAS

Seorang Salik yang sangat menginginkan ridla Allah dan pendekatan diri kepada Allah, maka harus ikhlas dalam semua amal. Karena, disamping merupakan syarat diterimanya semua amal, ikhlas juga merupakan rukun yang terbesar/terpenting dari berbagai macam amal batin yang menjadi sumber ibadah kepada Allah. Ikhlas adalah satu perbuatan batin yang dapat membersihkan amal dari bermacam-macam âfât (penyakit hati), seperti ‘ujub, riyâ’ dan lainnya.

Namun, setiap hamba memiliki tingkatan ikhlas yang berbeda-beda. Secara garis besar, tingkatan ikhlas dibagi menjadi 3, yakni:

  1. Ikhlasnya ‘Abid

‘Abid adalah tingkatan orang yang sudah merasakan manisnya ibadah dan masih merasa memiliki amal. Abid berbeda dengan ‘âmmah (orang pada umumnya). Jika ‘âbid sudah bisa merasakan manis dan nikmatnya beribadah, maka ‘ammah masih belum bisa merasakannya, ‘âmmah masih sebatas menjalankan rutinitas kewajiban. Tujuan ‘Abid beramal adalah agar mendapat imbalan dari Allah Swt., berupa masuk surga dan selamat dari neraka.

Orang pada tingkatan Abid diperbolehkan berpegang kepada amal, merasa memiliki amal, dan berharap mendapat balasan pahala. Bahkan yang seperti ini sudah dikategorikan ikhlas bagi ‘Abid. Seperti yang dikatakan Habib Bâ ‘Alawi al-Haddad, “Orang yang beribadah tujuannya mendekatkan diri kepada Allah Swt. disertai mengharap imbalan, hal itu sudah dinamakan ikhlas bagi ‘Abid.”

  1. Ikhlasnya Murid

Murid adalah tingkatan bagi seseorang yang sudah merasakan manisnya ibadah, dan masih merasa memiliki amal ibadah. Tujuan Murid dalam beribadah tidak lagi selamat dari neraka dan masuk surga, melainkan untuk dekat dan mendapat ridla Allah Swt. Seorang murid juga masih berpegang kepada amalnya untuk mencapai tujuannya.

Jadi, bentuk ikhlasnya Murid adalah ibadah merasa nikmat, tidak mengharap imbalan, tidak takut neraka, dan tidak ingin masuk surga, tetapi hanya ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt. untuk memperoleh ridla-Nya.

  1. Ikhlasnya ‘Arif

‘Arif adalah tingkatan bagi seseorang yang sudah maʼrifat kepada Allah Swt. ‘Arif sudah tidak merasa memiliki amal. Karena merasa tidak memiliki amal, ‘Arif tidak meminta imbalan apa pun, tidak lagi mengharap imbalan berupa masuk surga, selamat dari neraka, dekat dengan Allah Swt., dan mengharap ridla Allah Swt., tetapi hanya ingin jujur menjadi seorang hamba dan melaksanakan hak-hak Allah Swt. atau dengan kata lain:

الصِّدْقُ فِي الْعُبُودِيَّةِ وَالْقِيَامُ بِحُقُوقِ الرُّبُوبِيَّةِ

“Orang yang sudah ‘ârif billâh tidak merasa punya amal. Dirinya merasa bahwa amalnya murni anugerah dan pemberian Allah Swt. Inilah bentuk ikhlasnya ‘ârif.”

    Dapatkan keterangan lengkapnya hanya di buku “Waktu, Modal Utama Seorang Hamba.”

    Pemesanan  bisa klik link berikut ini : http://Linktr.ee/pustakaalmuhibbin


    Comments

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *