BAGAIMANAKAH CARA BERTAUBAT?

At-Taubat menurut bahasa adalah kembali. Sedangkan menurut arti syara’ adalah kembali dari perbuatan yang tercela menurut syara’ kepada perbuatan yang terpuji menurut syara’. Banyak sekali ayat-ayat yang difirmankan Allah dan hadîts-hadîts terkenal yang disabdakan Rasûlullâh yang berkaitan dengan taubat. Di antara ayat-ayat tersebut adalah:

 وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيْعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ                    

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nûr: 31)

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni- murninya, ….” (QS. At-Tahrîm: 8)

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنََّ اللهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنََّ اللهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

“Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allâh Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?” (QS. At-Taubah: 104)

Dan diantara hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan taubat:

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللهِ فَإِنِّي أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ». (رواه مسلم)

“Wahai manusia, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, karena sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya setiap hari seratus kali.” (HR. Imâm Muslim dari Ibnu ‘Umar)

(رواه البيهقي) ««إِنََّ بِالْمَغْرِبِ بَابًا مَفْتُوْحًا لِلتَّوْبَةِ مَسِيْرَتُهُ سَبْعُونَ سَنَةً، لاَ يُغْلَقُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ نَحْوِهِ

“Sesungguhnya di pejajahan barat terdapat pintu yang terbuka untuk taubat. Jarak perjala- nannya tujuh puluh tahun, yang tidak akan tertutup hingga matahari terbit dari arahnya (barat).” (HR. Imâm Baihaqî)

 (رواه أحمد)«مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ يُغَرْغِرَ نَفْسُهُ قَبِلَ اللهُ مِنْهُ»    

“Barangsiapa yang bertaubat sebelum nyawa- nya sampai di tenggorokan, maka diterima oleh Allah.” (HR. Imâm Ahmad)

 (رواه ابن حبان والبيهقي)«التَّائِبُ مِنَ الذََّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ»

“Orang yang bertaubat dari dosa adalah seperti orang yang tidak berdosa.” (HR. Ibnu Hibbân dan Imâm Baihaqî)

التَّوْبَةُ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ: أَوَّلُهَا التَّوْبَةُ، وَأَوْسَطُهَا الإِنَابَةُ، وَآخِرُهَا الْأَوْبَةُ. فَمَنْ تَابَ خَوْفَ الْعُقُوبَةِ فَهُوَ صَاحِبُ التَّوْبَةِ ، وَمَنْ تَابَ رَجَاءَ الْمَثُوبَةِ فَهُوَ صَاحِبُ الْإِنَابَة، وَمَنْ تَابَ حِفْظًا أَوْ قِيَامًا بِالْعُبُودِيَّةِ لاَ رَغْبَةً فِي الثَّوَابِ وَلاَ رَهْبَةً مِنَ الْعِقَابِ فَهُوَ صَاحِبُ الْأَوْبَةِ  (أفاده الشيخ محي الدين ابن العربي المغربي)

Taubat itu ada tiga bagian: awalnya adalah at-taubat, tengah-tengahnya adalah al-inâbah, dan akhirnya adalah al-aubah. Barangsiapa yang bertaubat karena takut siksa, maka ia disebut shôhibut-taubah. Dan barangsiapa yang bertaubat karena mengharapkan pahala, maka ia disebut shohibul-inabah. Dan barangsiapa yang bertaubat karena menjaga/melaksanakan ‘ubudiyah (Jawa: ngawulo) menghambakan diri kepada Allâh, bukan karena mengharapkan pahala dan bukan karena takut siksa, maka ia disebut dengan shohibul-aubah.

قَالَ بَعْضُهُمْ التَّوْبَةُ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ: (۱) تَوْبَةُ العَوَامِّ مِنَ الْمَعَاصِى، (۲) تَوْبَةُ الْخَوَاصِّ مِنَ الْغَفَلَاتِ، (٣) تَوْبَةُ الْخَوَاصِّ الْخَوَاصِّ مِنْ رُؤْيَةِ الطََّاعَاتِ

Sebagian ‘ulama’ berpendapat, taubat itu ada tiga bagian: (1) taubatnya orang umum dari perbuatan maksiat, (2) taubatnya orang khusus dari kelalaian ingat Allâh, (3) taubat orang khususnya khusus dari memandang perbuatan taat dari dirinya.

Bertaubat itu ada dua macam:

  1. Bertaubat dari dosa yang berhubungan dengan Allâh Ta’âlâ.
  2. Bertaubat dari dosa yang berhubungan dengan anak Adam (manusia).

Adapun bertaubat dari dosa yang berhubungan dengan Allâh itu syarat-syaratnya ada tiga, yaitu:

  1.  اَلنَّدَمُ(An-Nadamu) artinya: menyesali dosa dosa yang telah dilakukan.
  2. اَلْإِقْلَاعُ  (Al-Iqla) artinya: meninggalkan dosa dosa yang sedang dilakukan.
  3. اَلْعَزْمُ (Al-Azmu) artinya: niat yang kuat untuk tidak melakukan dosa-dosa itu lagi.

Sedangkan taubat yang berhubungan dengan manusia itu syarat-syaratnya ada empat, yaitu:

  1. اَلنَّدَمُ(An-Nadamu) artinya: menyesali dosa dosa yang telah dilakukan.
  2. اَلْإِقْلَاعُ  (Al-Iqla) artinya: meninggalkan dosa dosa yang sedang dilakukan.
  3. اَلْعَزْمُ (Al-Azmu) artinya: niat yang kuat untuk tidak melakukan dosa-dosa itu lagi.
  4. اَلْبَرَاءَةُ (Al-Bara’ah) artinya: bersih diri dari semua hak adami.

Bersih diri dari semua hak adami itu baik yang berhubungan dengan kesalahan harga diri ataupun yang berhubungan dengan materi (harta).

Apabila dosa itu merupakan kesalahan pada manusia yang berhubungan dengan harga diri, maka harus minta maaf. Apabila orangnya sudah meninggal dunia atau berada di tempat yang jauh yang tidak mungkin dapat berhubungan, maka hendaknya me mohonkan ampunan kepada yang bersangkutan kepada Allâh dengan membaca:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلَهُ

Hal ini tidak cukup hanya dengan meminta halal kepada ahli warisnya, sebagaimana yang telah diterangkan oleh asy-Syaikh ‘Alî bin Ahmad al-Jaizî dalam kitab Tuhfatul-Khawwâsh.

Apabila kesalahan itu berhubungan dengan materi, maka caranya:

  1. Harus minta halal kepada yang bersangkutan.
  2. Atau mengembalikan materi (harta) itu kepada yang bersangkutan.
  3. Apabila yang bersangkutan sudah meninggal, maka materi itu harus diserahkan kepada ahli warisnya.
  4. Apabila Ahli warisnya tidak ada, maka harus diserahkan kepada hakim yang di percaya (قَاضٍ ثِقَّةٌ), atau kepada orang ‘âlim yang berpegang teguh terhadap agama (مُتَدَيِّنٌ عَالِمٌ)

Apabila nomor empat tidak mungkin, maka ditasharufkan untuk mashalihil ammah (kemaslahatan umum).

Syarat-syarat bertaubat kepada manusia yang ada empat hal di atas itu berdasarkan hadits Nabî yang diriwayatkan oleh Imâm Bukhârî dan Muslim (muttafaq ‘alaih).

مَنْ كَانَ لِأَخِيْهِ مَظْلَمَةٌ فِي عِرْضٍ أَوْ مَـالٍ فَلْيَسْتَحْلَلْهُ الْيَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ. فَإِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ يُؤْخَذُ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِلَّا أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِّلَ عَلَيْهِ . متفق عليه

“Barangsiapa mempunyai kesalahan kepada kawannya, baik masalah harga diri atau harta, maka ia harus minta halal pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang tiada dînâr dan tiada dirham (hari kiamat). Maka, apabila ia mempunyai amal, niscaya amal itu akan diambil sesuai dengan kesalahannya. Dan apabila tidak, maka dosa-dosa kawannya tadi akan diambil dan dibebankan kepada orang yang mempunyai kesalahan tersebut.” (Muttafaq ‘alaih)

Dapatkan keterangan lengkapnya hanya di buku “Mutiara Indah.”

Pemesanan  bisa klik link berikut ini : http://Linktr.ee/pustakaalmuhibbin


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *